Rabu, 18 Januari 2012

Kebudayaan Kalimantan Timur

I.    Akulturasi

            Indonesia, dengan begitu banyak bahasa,  suku, agama, ras, dan berbagai kemajemukan lainnya merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa karena begitu banyak perbedaan dan keunikan melalui masyarakatnya. Sehingga  dengan begitu banyaknya kemajemukan yang timbul di masyarakat tersebut, kita membutuhkan apa yang disebut dengan akulturasi budaya. Akulturasi budaya pada dasarnya merupakan sebuah  proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok  tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda.Untuk memahami pengertian akulturasi dalam konteks budaya pertama-tama kita perlu memahami definisi budaya dan kebudayaan terlebih dahulu.
            Menurut Sachari, kebudayaan adalah suatu totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas suatu bangsa dalam bidang estetis, moral, dan ideasional yang terjadi melalui proses integrasi, baik integrasi historis maupun pengaruh jangka panjangnya. Para ahli ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yakni meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya, yaitu seluruh hasil dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (Koentjaraningrat).  Dari pengertian yang begitu luas itu, Koentjaraningrat memecahkan konsep kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan yang universal, yang diurutkan dari yang paling sulit berubah sampai pada yang paling mudah berubah.
            Pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
1.   Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
o  alat-alat teknologi
o  sistem ekonomi
o  keluarga
o  kekuasaan politik
2.   Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o  Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
o  Organisasi ekonomi
o  Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama).
o  Organisasi kekuatan (politik)
                 Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki paling sedikit tiga wujud, yaitu:
1.   Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan, dan perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut dengan adat kelakuan.
2.   Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat yang sering disebut sistem sosial.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

            Suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur yang mayoritas beragama Islam. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Timur. Suku Kutai masih serumpun dengan Suku Dayak, khususnya dayak rumpun ot-danum. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai mirip dengan Suku Dayak rumpun ot-danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa sub suku rumpun ot danom ( Karena masing-masing sub suku memiliki sejarah tersendiri ). Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun ot-danum ( khususnya tunjung-benuaq ) misalnya, erau (upacara adat yang paling meriah), belian ( upacara tarian penyembuhan penyakit ), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti, parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh Suku Kutai dan Suku Dayak.
            Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa oleh peneliti Belanda. Kemudian lambat laun Kutai menjadi nama suku. Sama halnya dengan dayak yang bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian peneliti Belanda. Menurut tradisi lisan masyarakat kutai, Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire ( Kutai ) oleh Pendatang dan Pedagang awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota Kerajaannya bernama Maradavure ( Martapura ) berada di Pulau Naladwipa dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang. Dalam berita Campa atau Cina disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Ada pendapat lain, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai, akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara.
           Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa itu adalah nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku (etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam dan akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar, Bugis, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini.

Terpecahnya Puak Tanah Kutai melahirkan Suku Dayak dan Suku Kutai

            Disinilah awal terbaginya dua golongan atau kelompok suku asli di Tanah Kutai, yakni Suku Dayak dan Suku Kutai ( haloq ). Haloq adalah sebutan bagi suku asli Tanah Kutai yang keluar dari adat/budaya/kepercayaan nenek moyang ( Adat, budaya, serta kepercayaan nenek moyang tersebut masih terlihat dari ciri khas Suku Dayak saat ini ). Sebutan haloq mulai timbul ketika suku-suku dari puak-puak kutai di atas mulai banyak meninggalkan kepercayaan lama salah satunya adalah dengan taat pada ajaran Islam, karena adat istiadat, budaya, dan kepercayaan dari suku asli Tanah Kutai tersebut banyak yang bertentangan dalam ajaran Islam. Kemudian karena puak pantun, punang, dan melani sebagian besar meninggalkan adat atau kepercayaan lama mereka, maka mereka mulai di sebut 'orang haloq' oleh puak lain yang masih bertahan dengan kepercayaan lamanya ( kepercayaan nenek moyang ). Dan puak yang masih bertahan dengan adat/kepercayaan lamanya sebagian besar adalah puak sendawar ( puak tulur jejangkat ), meskipun sebagian kecil ada juga suku dari puak sendawar yang meninggalkan adat lama ( Behaloq ). Sejak itulah orang haloq dan orang yang bukan haloq terpisah kehidupannya, karena sudah berbeda adat istiadat.
            Lambat laun orang haloq ini menyebut dirinya 'orang kutai' yang berarti orang yang ada di benua Kutai atau orang dari wilayah Kerajaan Kutai. Sejak itu lah kutai lambat laun mulai menjadi nama suku, yang mana suku kutai ini berasal dari puak pantun, punang, pahu dan melani dan sebagian kecil puak sendawar. Sekarang Suku Kutai sudah banyak bercampur dengan etnis lain. Terlihat dari budayanya yang merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya suku lain.
            Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan dengan adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung, Benuaq, Penihing, Oeheng, Bentian, Bahau, Modang dan lain-lain. Mereka adalah suku yang disebut Suku Dayak pada masa kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda, dimana mereka menyebut suku - suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan sebagai “Dayaker”.
            Jadi yang disebut Suku Kutai sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan melani. Sedangkan Suku Dayak adalah dari puak sendawar. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak. Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan jenisnya ( melayu tua ).
Saat ini peneliti membagi suku kutai menjadi 4 sub-etnis:
1.   Suku Kutai Tenggarong. (yang sebenarnya berasal dari puak melani)
2.   Suku Kutai Kota Bangun. (yang sebenarnya berasal dai puak punang)
3.   Suku Kutai Muara Pahu. (yang sebenarnya berasal dari puak pahu)
4.   Suku Kutai Muara Ancalong. (yang sebenarnya berasal dari puak pantun


 II.    Asimilasi

            Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering pula disebut ''Banjar-Melayu Pantai'' atau  ''Banjar-Dayak'', maksudnya suku Banjar yang terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalimantan tengah.
            Tahun 2000 ( sebelum pemekran daerah ), suku Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%), Kotawaringin Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%) dan Barito Utara (2,56%). Komposisi etnis di Kalteng berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri Suku Banjar (24,20%), Suku Jawa (18,06%), Suku Ngaju (18,02%), Suku Dayak Sampit (9,57%), Suku Bakumpai (7,51%), Suku Madura (3,46%), Suku Katingan (3,34%), Suku Maanyan (2,80%) dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika digabungkan suku Dayak ( Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai ) mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo ( Kalimantan tengah dan sebagian Kalimantan barat ) berjumlah 619.402 terdiri suku Dayak (63,49%), suku Melayu (26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa (2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.
            A. J. Gooszen, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde ( Netherlands ), A demographic history of the Indonesian archipelago, 1880-1942, KITLV Press, 1999 ISBN 90-6718-128-5, 9789067181280. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan suku Melayu ( Kotawaringin ) yang menempati pesisir barat Kalimantan Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur Kalimantan Tengah, misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota  Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar. Prosentase suku Banjar dan Melayu mengalami penurunan yang disebabkan karena peningkatan prosentase suku lain seperti suku Jawa dan Madura melalui migrasi.
            Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: demografi-politik pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, 2007, ISBN 979-799-083-4, 9789797990831. Pada tahun 1930, di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku Melayu yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku Melayu tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar. Perkampungan suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari  sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas, Seruyan Hilir, Seruyan Tanjung Rangas dan Pematang Panjang, Seruyan Pematang Panjang.
            Migrasi suku Banjar ( Banjar Kuala ) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Mustain Billah dari Banjar 1650-1672, yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
            Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara ( wilayah Batang Banyu ) terutama orang Negara ( urang Nagara ) yang datang dari Kota Negara ( bekas ibukota Kerajaan Negara Daha ) telah cukup lama mendiami wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua ( Urang Kalua ) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
            Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun 1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito Utara mengangkat Pangeran Antasari ( Gusti Inu Kartapati ) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu ( Murung Raya ), setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Seman.




 III.    BAHASA

            Bahasa Banjar adalah sebuah bahasa Austronesia yang dipertuturkan oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia, sebagai bahasa ibu. Bahasa Banjar termasuk dalam daftar bahasa dominan di Indonesia. Bahasa Banjar merupakan anak cabang bahasa yang berkembang dari Bahasa Melayu. Asal bahasa ini berada di provinsi Kalimantan Selatan yang terbagi atas Banjar Kandangan, Amuntai, Alabiu, Kalua, Alai, dan lain-lain. Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa Minangkabau, bahasa Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain.
            Selain di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjar yang semula sebagai bahasa suku bangsa juga menjadi lingua franca di daerah lainnya, yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta di daerah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, sebagai bahasa penghubung antar suku.
            Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang. Saat ini, Bahasa Banjar sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Kalimantan Selatan sebagai muatan lokal. Bahasa Bnjar juga memiliki sejumlah peribahasa.
            Dialek Banjar Kuala umumnya dipakai oleh penduduk asli sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari. Sedangkan dialek Banjar Hulu adalah bahasa Banjar yang dipakai penduduk daerah Hulu Sungai umumnya yaitu daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara (dan Balangan) serta Tabalong. Pemakai dialek Banjar Hulu ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan istilah dialek lokal yaitu seperti Amuntai, Alabiu, Kalua, Kandangan, Tanjung dan bahkan Den Hamer cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai oleh orang Bukit yaitu penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek Banjar Hulu pula. Dan mungkin subdialek baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu itu masih banyak lagi, kalau melihat banyaknya variasi pemakaian bahasa Banjar yang masih memerlukan penelitian yang lebih cermat dari para ahli dialektrografi sehingga bahasa Banjar itu dengan segala subdialeknya bisa dipetakan secara cermat dan tepat. Berdasarkan pengamatan yang ada, pemakaian antara dialek besar Banjar Kuala dengan Banjar Hulu dapat dilihat paling tidak dari dua hal, yaitu:
1.   Adanya perbedaan pada kosa kata tertentu;
2.   Perbedaan pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentu. Di samping itu ada pula pada
perbedaan lagu dan tekanan meskipun yang terakhir ini bersifat tidak membedakan ( non distinctive ).
            Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang dipakai di wilayah Banua Enam yang merupakan bekas Afdelling Kandangan dan Afdeeling Amoentai ( suatu pembagian wilayah pada zaman pendudukan Belanda ) yang meliputi kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong pada pembagian adiministrasi saat ini.
            Puak-puak suku Banjar Hulu Sungai dengan dialek-dialeknya masing-masing relatif bersesuaian dengan pembagian administratif pada zaman kerajaan Banjar dan Hindia Belanda yaitu menurut Lalawangan atau distrik ( Kawedanan ) pada masa itu, yang pada zaman sekarang sudah berbeda. Puak-puak suku Banjar di daerah Hulu Sungai tersebut misalnya :
1.   Orang Kelua dari bekas Distrik Kelua di hilir Daerah Aliran Sungai Tabalong, Kabupaten
2.   Orang Tanjung dari bekas Distrik Tabalong di hulu Daerah Aliran Sungai Tabalong,
3.   Orang Lampihong/Orang Balangan dari bekas Distrik Balangan (Paringin) di Daerah
4.   Orang Amuntai dari bekas Distrik Amuntai di Hulu Sungai Utara.
5.   Orang Alabio dari bekas Distrik Alabio di Hulu Sungai Utara.
6.   Orang Alai dari bekas Distrik Batang Alai di Daerah Aliran Sungai Batang Alai, Hulu
7.   Orang Pantai Hambawang/Labuan Amas dari bekas Distrik Labuan Amas di Daerah
8.   Orang Negara dari bekas Distrik Negara di tepi Sungai Negara, Hulu Sungai Selatan.
9.   Orang Kandangan dari bekas Distrik Amandit di Daerah Aliran Sungai Amandit, Hulu
10.    Orang Margasari dari bekas Distrik Margasari di Kabupaten Tapin.
11.    Orang Rantau dari bekas Distrik Benua Empat di Daerah Aliran Sungai Tapin,

       Daerah Oloe Soengai dahulu merupakan pusat kerajaan Hindu, di mana asal mula perkembangan bahasa Melayu Banjar.


IV.    RELIGI

            Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
            Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad kedua dan abad keempat Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatera, Jawa dan Sulawesi, membawa agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan kasta Brahmana yang memuja Siva. Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi Hindu, Prambanan juga dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.
            Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20 kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
            Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
            Perubahan penting terhadap agama-agama juga terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung PKI adalah ateis. Sebagai hasilnya, tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga berpindah ke Kristen atau Buddha.
            Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.
            Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen.
            Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibanding kitab, hukum dan kepercayaan.
            Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta orang), sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).


  V.    Adat Pernikahan

       Provinsi Kalimantan Selatan terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan. Secara geografis keadaan alamnya terdiri dari dataran rendah, rawa-rawa, sungai-sungai baik besar maupun kecil serta dataran tinggi dan pegunungan dengan lembah dan ngarainya. Di bagian selatan dan timur dilingkungi oleh pantai dan laut.
Berdasarkan tempat tinggal dan asal etnisnya, suku Banjar terbagi atas tiga kelompok, yaitu :
1.   Banjar Kuala, di daerah Banjarmasin dan kabupaten Banjar. Mereka berasal dari etnik
Ngaju.
2.   Banjar Batang Banyu, di aliran sungai Barito dan terus ke sungai Negara hingga ke
sungai Tabalong di Kelua. Mereka berasal dari etnik Maanyan.
3.   Banjar Pahuluan, di sepanjang kaki Gunung Meratus dari Tanjung sampai ke Pelaihari.
Mereka berasal dari etnik Dayak dan Bukit.

            Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus dilewati. Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.

            Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :

1.   Basasuluh
          Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut dengan BASASULUH.
2.   Batatakun atau Melamar
          Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
3.   Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
          Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.
Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah.
Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.

4.   Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
          Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi tentang hari pernikahan dan perkawinan.



5.   Bakakawinan atau Pelaksanaan Upacara Perkawinan.
          Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:
a.    Bapingit dan Bakasai.
         Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan (Bapingit). Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.
b.   Batimung.
          Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.
c.    Badudus atau Bapapai.
          Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.
d.   Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)
         Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.



Kegiatan pada upacara perkawinan ini antara lain:

1). Badua Salamat Pengantin.
         Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.
2). Bahias atau Merias Pengantin.
         Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka, rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya. Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah sholat Zuhur.
3). Maarak Pengantin.
         Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian, maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah menunggu kedatangan mempelai pria. Maka kemudian diadakanlah upacara Maarak Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.

maara2k



4). Batatai atau Basanding.
         Kedatangan pengantin pria disambut dengan Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi.

batatai

         Apabila telah cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk istirahat.

e.    Bajajagaan Pengantin
         Pada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang isinya dengan pertunjukan kesenian, seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda dan sebagainya.



f.    Sujud
         Tiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu.
         Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.

         Begitulah proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh suku Banjar pada masa lalu. Namun pada era globalsasi saat ini tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang diajarkan secara turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada upaya untuk melestarikannya. Namun, masih ada juga daerah yang tetap melaksanakan prosesi tersebut. Seperti di daerah Margasari Kab. Tapin, di sana masih dilaksanakan prosesi tersebut, namun tidak semuanya dilaksanakan. Maksudnya ada bagian tertentu yang tidak dilaksanakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai.
         Pada masa sekarang dalam hal mencari calon isteri tidak lagi pengaruh orang tua berperan penting, sekarang anak muda dalam hal mencari jodoh ditempuh dengan cara pacaran seperti yang telah dikemukakan di bagian awal tadi. Di masyarakat perkotaan sudah jarang yang memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun tentu ada saja orang yang tetap melaksanakannya.
         Untuk itu peran pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan untuk melestarikan kebudayaan yang kita miliki ini. Negara kita terkenal karena kebudayaannya yang unik untuk itu kita sebagai generasi penerus haruslah melestarikan kebudayaan yang kita miliki.





Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Banjar