I. Akulturasi
Indonesia, dengan begitu
banyak bahasa, suku, agama, ras, dan berbagai kemajemukan lainnya
merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa karena begitu banyak perbedaan
dan keunikan melalui masyarakatnya. Sehingga dengan begitu banyaknya kemajemukan
yang timbul di masyarakat tersebut, kita membutuhkan apa yang disebut dengan
akulturasi budaya. Akulturasi budaya pada dasarnya merupakan sebuah
proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok tertentu
dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda.Untuk memahami
pengertian akulturasi dalam konteks budaya pertama-tama kita perlu memahami
definisi budaya dan kebudayaan terlebih dahulu.
Menurut Sachari, kebudayaan adalah suatu
totalitas dari proses dan hasil segala aktivitas suatu bangsa dalam bidang
estetis, moral, dan ideasional yang terjadi melalui proses integrasi, baik
integrasi historis maupun pengaruh jangka panjangnya. Para ahli ilmu sosial
mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yakni meliputi
seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya, yaitu seluruh hasil dari pikiran,
karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya (Koentjaraningrat).
Dari pengertian yang begitu luas itu, Koentjaraningrat memecahkan konsep
kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan yang universal, yang diurutkan dari
yang paling sulit berubah sampai pada yang paling mudah berubah.
Pendapat ahli yang
mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai
berikut:
1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan
memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur
pokok yang meliputi:
o Sistem norma sosial yang
memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
o Organisasi ekonomi
o Alat-alat dan
lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama).
o Organisasi kekuatan
(politik)
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki
paling sedikit tiga wujud, yaitu:
1. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma,
peraturan dan sebagainya
yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah pada kelakuan, dan
perbuatan manusia dalam masyarakat yang disebut dengan adat kelakuan.
2. Wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat yang sering
disebut sistem sosial.
3. Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah
Kalimantan Timur yang mayoritas beragama Islam. Suku Kutai berdasarkan
jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di
Kalimantan Timur. Suku Kutai masih serumpun dengan Suku Dayak, khususnya
dayak rumpun ot-danum. Oleh karena itu secara fisik Suku Kutai
mirip dengan Suku Dayak rumpun ot-danum. Hubungan Kekerabatan Suku Kutai
dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan
berbagai versi di beberapa sub suku rumpun ot danom ( Karena masing-masing sub suku memiliki sejarah tersendiri ).
Adat-istiadat lama Suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun
ot-danum ( khususnya tunjung-benuaq ) misalnya, erau (upacara adat yang
paling meriah), belian ( upacara tarian penyembuhan
penyakit ), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib
seperti, parang maya, panah terong, polong, racun
gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki
oleh Suku
Kutai dan Suku Dayak.
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan
nama Kerajaan tempat ditemukannya prasasti Yupa oleh peneliti Belanda. Kemudian
lambat laun Kutai menjadi nama
suku. Sama halnya dengan dayak
yang bukan merupakan nama suku dulunya karena istilah dayak merupakan nama pemberian peneliti Belanda. Menurut tradisi
lisan masyarakat kutai, Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura
di Muara Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire ( Kutai ) oleh Pendatang dan Pedagang
awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota
Kerajaannya bernama Maradavure ( Martapura ) berada di Pulau Naladwipa dan letaknya di tepi Sungai
Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang
Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang. Dalam berita Campa atau Cina
disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Ada pendapat
lain, bahwa Sumpah Palapa Patih Gajah Mada di Majapahit sempat menyebutkan
Tunjung Kuta, ada pula yang mengatakan tulisan yang benar adalah Tunjung Kutai,
akan tetapi ini pada masa Kerajaan Kutai Kartanegara.
Dari pemaparan di atas diketahui bahwa Kutai pada masa itu
adalah nama Kerajaan/kota/wilayah tempat penemuan prasasti bukan nama suku
(etnis) dan hubungan kekerabatan Suku Kutai dan Suku Dayak sangat kuat. Hanya saja pengaruh agama Islam dan
akulturasi pendatang yang menyebarkan agama Islam ( Sumatra, Cina, Banjar,
Bugis, Jawa ) serta perang antar kerajaan ( Dinasti Kartanegara dari Majapahit
yang memenangkan peperangan melawan kerajaan Kutai Martadipura ) pada saat itu
mengakibatkan budaya Suku Kutai menjadi agak berbeda dengan Suku Dayak saat ini.
Terpecahnya Puak Tanah Kutai melahirkan Suku Dayak dan Suku
Kutai
Disinilah awal terbaginya dua golongan atau
kelompok suku asli di Tanah Kutai, yakni Suku Dayak dan Suku Kutai
( haloq ). Haloq
adalah sebutan bagi suku asli Tanah Kutai yang keluar dari
adat/budaya/kepercayaan nenek moyang ( Adat, budaya, serta kepercayaan nenek
moyang tersebut masih terlihat dari ciri khas Suku Dayak saat ini ). Sebutan haloq mulai timbul ketika suku-suku dari
puak-puak kutai di atas mulai banyak meninggalkan kepercayaan lama salah
satunya adalah dengan taat pada ajaran Islam, karena adat istiadat, budaya, dan
kepercayaan dari suku asli Tanah Kutai tersebut banyak yang bertentangan dalam
ajaran Islam. Kemudian karena puak pantun, punang, dan melani sebagian besar
meninggalkan adat atau kepercayaan lama mereka, maka mereka mulai di sebut
'orang haloq' oleh puak lain yang masih bertahan dengan kepercayaan lamanya ( kepercayaan nenek moyang ). Dan puak yang masih bertahan dengan adat/kepercayaan
lamanya sebagian besar adalah puak sendawar ( puak tulur jejangkat ), meskipun sebagian kecil ada juga suku dari puak sendawar
yang meninggalkan adat lama ( Behaloq ). Sejak itulah orang haloq dan orang yang bukan haloq terpisah kehidupannya, karena sudah berbeda
adat istiadat.
Lambat laun orang haloq ini menyebut dirinya
'orang kutai' yang berarti orang yang ada di benua Kutai atau orang dari
wilayah Kerajaan Kutai. Sejak itu lah kutai lambat laun mulai menjadi nama
suku, yang mana suku kutai ini berasal dari puak pantun, punang, pahu dan
melani dan sebagian kecil puak sendawar. Sekarang Suku Kutai
sudah banyak bercampur dengan etnis lain. Terlihat dari budayanya yang
merupakan hasil akulturasi dari beberapa budaya suku lain.
Puak sendawar yang sebagian besar masih bertahan
dengan adat/kepercayaan lama kemudian berpencar membentuk kelompok-kelompok
suku pedalaman dan terasing. Mereka kini menjadi suku Tunjung, Benuaq,
Penihing, Oeheng, Bentian, Bahau, Modang dan lain-lain. Mereka adalah suku yang
disebut Suku Dayak pada masa
kini. Dayak adalah sebutan yang dipopulerkan oleh orang Belanda, dimana mereka
menyebut suku - suku asli yang mendiami pedalaman Kalimantan sebagai “Dayaker”.
Jadi yang disebut Suku Kutai
sekarang ini adalah suku dari puak pantun, punang, pahu dan melani. Sedangkan Suku Dayak adalah dari
puak sendawar. Jadi Suku Kutai bukanlah suku melayu muda akan tetapi adalah
suku melayu tua, sama seperti Suku Dayak.
Pengelompokkan Suku Kutai kedalam ras melayu muda hanya berdasarkan
Sosio-religius atau kultural, bukan berdasarkan jenisnya ( melayu tua ).
Saat ini peneliti membagi suku kutai menjadi 4
sub-etnis:
1. Suku Kutai Tenggarong. (yang sebenarnya berasal dari puak melani)
2. Suku Kutai Kota Bangun. (yang sebenarnya berasal dai puak punang)
3. Suku Kutai Muara Pahu. (yang sebenarnya berasal dari puak pahu)
4. Suku Kutai Muara Ancalong. (yang sebenarnya berasal dari puak
pantun
II. Asimilasi
Suku Banjar di Kalimantan Tengah sering
pula disebut ''Banjar-Melayu Pantai'' atau ''Banjar-Dayak'', maksudnya suku Banjar yang
terdapat di daerah Dayak Besar yaitu nama lama Kalimantan
Tengah. Menurut sensus tahun 2000, Suku Banjar merupakan 24,20 % dari populasi
penduduk dan sebagai suku terbanyak di Kalimantan tengah.
Tahun 2000 ( sebelum pemekran daerah ),
suku Banjar terdapat di Kabupaten Kapuas (40,5%), Palangkaraya (27,64%),
Kotawaringin Timur (20,3%), Kotawaringin Barat (16,02%), Barito Selatan (10,5%)
dan Barito Utara (2,56%). Komposisi etnis di Kalteng
berdasarkan sensus tahun 2000 terdiri Suku Banjar (24,20%),
Suku Jawa (18,06%), Suku Ngaju (18,02%), Suku
Dayak Sampit (9,57%), Suku Bakumpai (7,51%), Suku
Madura (3,46%), Suku Katingan (3,34%), Suku Maanyan (2,80%)
dan tidak diketahui besar jumlah suku Melayu. Tetapi jika digabungkan suku
Dayak ( Ngaju, Sampit, Maanyan, Bakumpai )
mencapai 37,90%. Menurut sensus tahun 1930 penduduk Central Borneo ( Kalimantan tengah dan sebagian Kalimantan
barat ) berjumlah 619.402 terdiri
suku Dayak (63,49%), suku Melayu (26,64%), suku Banjar (5,95%), suku Jawa
(2,51%), Bugis (1,09%) dan sisanya suku lainnya yang tidak disebutkan.
A. J. Gooszen, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde ( Netherlands ), A demographic history of
the Indonesian archipelago, 1880-1942, KITLV Press, 1999 ISBN 90-6718-128-5,
9789067181280. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa suku Banjar yang ada
sekarang di Kalimantan Tengah merupakan asimilasi suku Banjar dengan suku
Melayu ( Kotawaringin ) yang menempati pesisir
barat Kalimantan Tengah. Suku Banjar terutama menempati pesisir timur
Kalimantan Tengah, misalnya menurut sensus 1930, penduduk Kota Kuala Kapuas 50,28% merupakan suku Banjar. Prosentase
suku Banjar dan Melayu mengalami penurunan yang disebabkan karena peningkatan
prosentase suku lain seperti suku Jawa dan Madura melalui migrasi.
Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: demografi-politik
pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, 2007, ISBN 979-799-083-4, 9789797990831.
Pada tahun 1930, di Kalimantan Selatan juga terdapat 2.765 jiwa suku Melayu
yaitu di Banjarmasin 1.512 jiwa dan kota Tanjung 1.253 jiwa. Suku Melayu
tersebut diduga juga telah melebur ke dalam suku Banjar. Perkampungan
suku Banjar Kalteng terutama terdapat daerah kuala dari sungai Mentaya di Kabupaten Kotawaringin Timur dan sungai Seruyan
di Kabupaten Seruyan, misalnya desa Tanjung Rangas, Seruyan Hilir, Seruyan Tanjung
Rangas dan Pematang Panjang, Seruyan Pematang
Panjang.
Migrasi suku Banjar ( Banjar
Kuala ) ke Kalimantan Tengah terutama terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Banjar IV yaitu Raja Maruhum atau Mustain Billah dari Banjar 1650-1672,
yang telah mengizinkan berdirinya Kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang
pertama Pangeran Dipati Anta-Kasuma.
Suku Banjar yang datang dari lembah sungai Negara ( wilayah
Batang Banyu ) terutama orang Negara ( urang
Nagara ) yang datang dari Kota Negara ( bekas
ibukota Kerajaan Negara Daha ) telah cukup lama mendiami
wilayah Kahayan Kuala, Pulang Pisau, yang kemudian disusul orang Kelua ( Urang
Kalua ) dari Tabalong dan orang Hulu Sungai lainnya
mendiami daerah yang telah dirintis oleh orang Negara. Puak-puak suku Banjar
ini akhirnya melakukan perkawinan campur dengan suku Dayak Ngaju setempat dan
mengembangkan agama Islam di daerah tersebut.
Sedangkan migrasi suku Banjar ke wilayah Barito, Kalimantan Tengah
terutama pada masa perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda sekitar tahun
1860-an. Suku-suku Dayak di wilayah Barito Utara mengangkat Pangeran Antasari ( Gusti
Inu Kartapati ) sebagai raja dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin berkedudukan di Puruk Cahu ( Murung Raya ),
setelah mangkat beliau perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yang bergelar
Sultan Muhammad Seman.
III. BAHASA
Bahasa Banjar adalah sebuah bahasa Austronesia
yang dipertuturkan oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia, sebagai
bahasa ibu. Bahasa Banjar termasuk dalam daftar bahasa dominan di
Indonesia. Bahasa Banjar merupakan anak cabang bahasa yang berkembang dari
Bahasa Melayu. Asal bahasa ini berada di provinsi Kalimantan Selatan yang
terbagi atas Banjar Kandangan, Amuntai, Alabiu, Kalua, Alai, dan lain-lain.
Bahasa Banjar dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya bahasa
Minangkabau, bahasa Betawi, bahasa Iban, dan lain-lain.
Selain di Kalimantan Selatan, Bahasa Banjar yang
semula sebagai bahasa suku bangsa juga menjadi lingua franca di daerah lainnya,
yakni Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur serta di daerah Kabupaten
Indragiri Hilir, Riau, sebagai bahasa penghubung antar suku.
Bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa
Melayu, Jawa dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan
bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering pula
disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai
mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa
Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan
sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang. Saat
ini, Bahasa Banjar sudah mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Kalimantan
Selatan sebagai muatan lokal. Bahasa Bnjar juga memiliki sejumlah peribahasa.
Dialek Banjar Kuala umumnya dipakai oleh
penduduk asli sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari. Sedangkan
dialek Banjar Hulu adalah bahasa Banjar yang dipakai penduduk daerah Hulu Sungai umumnya
yaitu daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara (dan
Balangan) serta Tabalong. Pemakai
dialek Banjar Hulu ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi
subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut
dengan istilah dialek lokal yaitu seperti Amuntai, Alabiu, Kalua, Kandangan, Tanjung dan bahkan Den
Hamer cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai
oleh orang Bukit yaitu
penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek Banjar Hulu pula. Dan mungkin
subdialek baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu itu masih banyak lagi, kalau
melihat banyaknya variasi pemakaian bahasa Banjar yang masih memerlukan
penelitian yang lebih cermat dari para ahli dialektrografi sehingga bahasa
Banjar itu dengan segala subdialeknya bisa dipetakan secara cermat dan tepat.
Berdasarkan pengamatan yang ada, pemakaian antara dialek besar Banjar Kuala
dengan Banjar Hulu dapat dilihat paling tidak dari dua hal, yaitu:
1. Adanya perbedaan pada kosa kata tertentu;
perbedaan lagu dan tekanan meskipun yang terakhir ini bersifat
tidak membedakan ( non distinctive ).
Bahasa Banjar Hulu merupakan dialek asli yang
dipakai di wilayah Banua Enam yang
merupakan bekas Afdelling Kandangan dan Afdeeling Amoentai ( suatu pembagian wilayah pada zaman pendudukan Belanda ) yang meliputi kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong pada
pembagian adiministrasi saat ini.
Puak-puak suku Banjar Hulu Sungai dengan
dialek-dialeknya masing-masing relatif bersesuaian dengan pembagian
administratif pada zaman kerajaan Banjar dan Hindia Belanda yaitu
menurut Lalawangan atau distrik ( Kawedanan )
pada masa itu, yang pada zaman sekarang sudah berbeda. Puak-puak suku Banjar di
daerah Hulu Sungai tersebut misalnya :
Daerah Oloe Soengai dahulu merupakan pusat
kerajaan Hindu,
di mana asal mula perkembangan bahasa Melayu Banjar.
IV. RELIGI
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah
menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa
perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia
sekitar abad kedua dan abad keempat Masehi ketika pedagang dari India datang ke
Sumatera, Jawa
dan Sulawesi, membawa
agama mereka. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad kelima Masehi dengan
kasta Brahmana yang memuja Siva.
Pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikut lebih lanjut dan
sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan kaya,
seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan Sailendra. Sebuah
candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur, telah
dibangun oleh Kerajaan Sailendra pada waktu yang sama, begitu pula dengan candi
Hindu, Prambanan juga
dibangun. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad
ke-14 M, yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.
Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 melalui pedagang Arab. Islam menyebar sampai pantai barat Sumatera dan
kemudian berkembang ke timur pulau Jawa. Pada periode ini terdapat beberapa
kerajaan Islam, yaitu kerajaan Demak, Pajang, Mataram dan Banten. Pada akhir abad ke-15 M, 20
kerajaan Islam telah dibentuk, mencerminkan dominasi Islam di Indonesia.
Kristen Katolik dibawa masuk
ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali
diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah
penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan
tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian,
Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah
Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah
orang-orang Batak, dimana banyak
saat ini yang menjadi pemeluk Protestan.
Perubahan penting terhadap agama-agama juga
terjadi sepanjang era Orde Baru. Antara
tahun 1964 dan 1965, ketegangan antara PKI dan pemerintah Indonesia, bersama dengan beberapa
organisasi, mengakibatkan terjadinya konflik dan pembunuhan terburuk di abad
ke-20. Atas dasar peristiwa itu, pemerintahan Orde Baru
mencoba untuk menindak para pendukung PKI, dengan menerapkan suatu kebijakan
yang mengharuskan semua untuk memilih suatu agama, karena kebanyakan pendukung
PKI adalah ateis. Sebagai hasilnya,
tiap-tiap warganegara Indonesia diharuskan untuk membawa kartu identitas
pribadi yang menandakan agama mereka. Kebijakan ini mengakibatkan suatu
perpindahan agama secara massal, dengan sebagian besar berpindah agama ke
Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Karena Konghucu bukanlah
salah satu dari status pengenal agama, banyak orang Tionghoa juga
berpindah ke Kristen atau Buddha.
Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia
pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian
menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit. Candi Prambanan adalah kuil
Hindu yang dibangun semasa kerajaan Majapahit, semasa dinasti Sanjaya. Kerajaan
ini hidup hingga abad ke 16 M, ketika kerajaan Islam mulai berkembang. Periode
ini, dikenal sebagai periode Hindu-Indonesia, bertahan selama 16 abad penuh.
Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya
di dunia. Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara
formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak
pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata
(Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan
Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang
dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara
yang berbeda di daerah pulau Jawa,
yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal
sebagai Islam
Abangan atau Islam Kejawen.
Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi
kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di
dalam jiwa dan semangat, serta karma atau
kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas
siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di
Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu disini lebih memusatkan
pada seni dan upacara
agama dibanding kitab, hukum
dan kepercayaan.
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di
Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta orang), sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan
nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu
Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta
orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga
terdapat di Sumatera, Jawa,
Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga
memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan Tengah,
sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama
lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).
V. Adat Pernikahan
Provinsi
Kalimantan Selatan
terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan. Secara geografis keadaan alamnya
terdiri dari dataran rendah, rawa-rawa, sungai-sungai baik besar maupun kecil
serta dataran tinggi dan pegunungan dengan lembah dan ngarainya. Di bagian
selatan dan timur dilingkungi oleh pantai dan laut.
Berdasarkan tempat tinggal dan asal etnisnya,
suku Banjar terbagi atas tiga kelompok, yaitu :
1. Banjar Kuala, di daerah Banjarmasin dan kabupaten Banjar. Mereka berasal dari
etnik
Ngaju.
2. Banjar Batang
Banyu, di aliran sungai Barito
dan terus ke sungai Negara hingga ke
sungai Tabalong di Kelua. Mereka berasal dari etnik Maanyan.
3. Banjar
Pahuluan, di sepanjang kaki
Gunung Meratus dari Tanjung sampai ke Pelaihari.
Mereka berasal dari etnik Dayak dan Bukit.
Suku Banjar mengenal Daur Hidup
dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan.
Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus dilewati. Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah
“berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui
sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan
kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak
mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak
masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya
diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.
Pelaksanaan upacara
perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal ini dikarenakan harus
melalui berbagai prosesi, antara lain :
1. Basasuluh
Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya
tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang
anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering
dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah
ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada
yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut
dengan BASASULUH.
2.
Batatakun
atau Melamar
Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang
gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk
melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan
dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua
pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan
atau Bapatut Jujuran.
3.
Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah
membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan,
tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si
gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.
Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal
bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga
atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata
dan bersilat lidah.
Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian
ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar
Patalian.
4. Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin
kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai
pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan
ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga.
Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi
tentang hari pernikahan dan perkawinan.
5. Bakakawinan atau Pelaksanaan
Upacara Perkawinan.
Sebelum hari pernikahan atau perkawinan,
mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:
a. Bapingit dan Bakasai.
Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki
ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya,
hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan
(Bapingit). Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan
untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan
dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri
waktu disandingkan di pelaminan.
b. Batimung.
Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari
pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat
mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat
membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh
cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi
harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.
c. Badudus atau Bapapai.
Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang
dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan
juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat.
Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan
tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.
d. Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)
Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin
untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan
disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya
pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.
Kegiatan pada upacara
perkawinan ini antara lain:
1). Badua Salamat Pengantin.
Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin
dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini
pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung
tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati
hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.
2). Bahias atau Merias Pengantin.
Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke
rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka,
rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya.
Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah sholat Zuhur.
3). Maarak Pengantin.
Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian,
maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah
menunggu kedatangan mempelai pria. Maka kemudian diadakanlah upacara Maarak
Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian
Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama
untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.
4). Batatai atau Basanding.
Kedatangan pengantin pria disambut dengan
Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari
dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria
disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka
pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi.
Apabila telah
cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk
kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi
kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di
petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan
sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi
pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk
istirahat.
e. Bajajagaan Pengantin
Pada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari
perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang
isinya dengan pertunjukan kesenian, seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat
Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda
dan sebagainya.
f. Sujud
Tiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua
mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada
orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin
dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu.
Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah
mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama
orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila
telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah
dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.
Begitulah proses upacara perkawinan yang
dilakukan oleh suku Banjar pada masa lalu. Namun pada era globalsasi saat ini
tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat
khususnya masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang
otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti
contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele.
Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang diajarkan secara
turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada upaya untuk
melestarikannya. Namun, masih ada juga daerah yang tetap melaksanakan prosesi
tersebut. Seperti di daerah Margasari Kab. Tapin, di sana masih dilaksanakan
prosesi tersebut, namun tidak semuanya dilaksanakan. Maksudnya ada bagian
tertentu yang tidak dilaksanakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai.
Pada masa
sekarang dalam hal mencari calon isteri tidak lagi pengaruh orang tua berperan
penting, sekarang anak muda dalam hal mencari jodoh ditempuh dengan cara
pacaran seperti yang telah dikemukakan di bagian awal tadi. Di masyarakat
perkotaan sudah jarang yang memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun
tentu ada saja orang yang tetap melaksanakannya.
Untuk itu peran
pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan untuk melestarikan kebudayaan yang
kita miliki ini. Negara kita terkenal karena kebudayaannya yang unik untuk itu
kita sebagai generasi penerus haruslah melestarikan kebudayaan yang kita miliki.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Banjar